Senin, 22 November 2010

Ratifikasi Perjanjian Kerjasama Pertahanan Indonesia-Singapura



Dalam perjanjian kerjasama antara Indonesia dengan singapura pada tanggal 27 April 2007 katanya dibuat untuk meningkatkan dan memperkuat hubungan bilateral yang ada antara indonesia dan singapura melalui kegiatan kerjasama dibidang pertahanan. Kerjasama tersebut disebut Defence Corporation Agreement (DCA). Defence Cooperation Agreement (DCA) telah ditandatangani di Istana Presiden Tampaksiring, Bali pada bulan April 2007 yang lalu. Butuh perjuangan yang lama untuk membawa perjanjian yang termasuk dalam paket perjanjian extradisi ini. Singapura selalu menunjukan sikap tidak baik dengan menolak membahas isu ini ke tingkat yang lebih tinggi.

Memang, Singapura sangat diuntungkan dengan banyaknya koruptor Indoensia yang begitu amannya bersembunyi di negara kota itu. Singapura jelas juga berkepentingan menjaga modal tetap aman dan tersimpan baik di bank-bank Singapura. Maka, kalau Singapura mau menandatangani perjanjian extradisi pasti mereka punya agenda atau mememinta imbalan yang begitu tinggi. Dan jangan heran kalau imbalannya menyerempet kedaulatan negara.

Dalam Perjanjian tersebut terdapat dua pertanyaan mendasar tentang defence cooperation agreement atau DCA yang hingga kini belum dijelaskan pemerintah.

Pertama, mengapa bisa mengizinkan negara lain menggunakan wilayah kita untuk latihan militer? Apakah ini tanda ketidakmampuan Indonesia menjaga wilayah karena lemahnya kekuatan pertahanan laut dan udara? Jika ya, kekuatan pertahanan Indonesia tidak mampu memenuhi tujuan utama pertahanan Indonesia, yaitu mempertahankan kedaulatan, wilayah, dan keselamatan bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan UU Pertahanan Negara No 3/2002 dan UU tentang TNI No 34/2004.

Singapura telah melaksanakan latihan militer di wilayah Indonesia, yang diklaim sebagai daerah tradisional latihan militer sejak tahun 1970-an. Perlu ditegaskan, menyediakan wilayah untuk latihan militer negara lain dapat membuka kelemahan pertahanan Indonesia. Selain itu, persiapan latihan pada hakikatnya sama dengan persiapan untuk melakukan operasi militer.

Pertanyaan kedua, mengapa menghubungkan antara perjanjian ekstradisi dan perjanjian pertahanan? Ini sulit diterima para penentang DCA. Pertahanan adalah salah satu core business dari upaya mempertahankan eksistensi negara. Sementara itu, masalah larinya koruptor dan modal ke Singapura, betapa pun Singapura telah melakukan kesalahan, sebagian besar disebabkan lemahnya sistem perbankan, sistem hukum, dan imigrasi Indonesia. Maka, wajar masyarakat bertanya apakah pantas kesalahan yang kita buat sendiri harus ditebus dengan pengorbanan dalam bidang pertahanan untuk kepentingan negara lain.

Penjelasan yang harus dikemukakan pemerintah seharusnya tidak mengaitkan DCA dengan ekstradisi, tetapi melihat dari aspek pertahanan itu sendiri. Seperti dikemukakan sebelumnya, Singapura telah melakukan latihan di wilayah Indonesia, terutama dalam kasus wilayah Bravo yang lama (kini dinamakan Alpha 2) dengan menggunakan klaim wilayah tradisional latihan militer mereka. Hak ini tidak dikenal dalam hukum internasional. Oleh karena itu, Singapura tidak berhak mengklaim adanya wilayah tradisional latihan militer. Dengan adanya DCA, hak wilayah tradisional latihan militer itu hilang digantikan mekanisme izin dan aturan-aturan operasional lain yang disebut Implementation Arrangement (IA) yang hingga kini belum tuntas dalam perundingan antara kedua negara.

Diplomasi

Ketika kekuatan pertahanan Indonesia secara fisik tidak mampu menolak klaim itu, diplomasi menjadi satu-satunya opsi yang realistis. Di sinilah DCA merupakan hasil diplomasi Indonesia untuk menghapus klaim wilayah tradisional latihan militer sekaligus sebagai kompensasi bagi Singapura dari hilangnya klaim itu. Jika tidak ada kompensasi (take and give), toh akhirnya Indonesia tidak mampu menghentikan klaim itu. Jadi, lebih baik Singapura diikat dalam perjanjian daripada dibiarkan melakukan latihan militer dalam wilayah yang diklaim sebagai wilayah tradisional latihan militernya. Inilah hasil maksimal yang dicapai Indonesia karena selama ini mengabaikan pembangunan kekuatan laut, udara, dan darat secara seimbang sesuai dengan karakter geografis sebagai negara kepulauan yang terbuka.

Jika nanti DPR menolak ratifikasi DCA, hal ini harus dilihat secara wajar sebagai bagian proses politik yang harus dilalui oleh suatu perjanjian dengan negara lain. Singapura juga harus menghormati proses politik ini. Perjanjian SALT II pada akhir 1970-an antara Uni Soviet dan Amerika Serikat batal karena tidak diratifikasi Kongres AS. European Defence Community pada tahun 1954 juga batal karena ditolak parlemen Perancis dan Inggris.

Itulah kewenangan DPR tanpa harus menuntut untuk dilibatkan dalam proses negosiasi atau mengetahui semua hal perundingan yang dilakukan pemerintah sesuai dengan prinsip politik trias politika yang membagi ranah kewenangan politik antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Seharusnya pemerintah menuntaskan perundingan tentang IA kemudian bersama-sama dengan DCA diberikan kepada DPR untuk dijadikan dasar pertimbangan ratifikasi. Dengan demikian, akan muncul pemahaman lebih kuat tentang makna pasal-pasal DCA dengan rujukan operasional dalam IA yang mencakup semua wilayah. Jika DCA batal, dapat dipastikan perjanjian ekstradisi akan batal. Konsekuensinya, Singapura bisa tetap mempertahankan klaim wilayah tradisional latihan militer.

Kesimpulan

Dari pemeparan diatas belum cukup alasan buat DPR untuk meratifikasi hal Perjanjian Kerjasama Pertahanan atau Defense Corporation Agreement tersebut. Alasannya seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa kerjasama tersebut akan mengganggu kedaulatan wilayah dengan berbagai berbagai pertimbangan. Selain itu, Durasi perjanjian yang mereka minta terlalu lama dan ingin mengikut sertakan pihak ketiga dalam latihan perang mereka. Menurut saya indonesia memang telah mengambil keputusan yang tepat karena perjanjian tersebut lebih tinggi resiko kerugian yang akan timbul dari pada keuntungan yang akan singapura berikan.